Mengidentifikasi Pasal-pasal yang merupakan penjelmaan dari 4 pokok pikiran (gamapatua)

Pokok Pikiran Pertama

“Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Hal ini berarti bahwa negara menghendaki persatuan dengan menghilangkan faham golongan, mengatasi segala faham perseorangan. Dengan demikian Pokok Pikiran Pertama merupakan penjelmaan Sila Ketiga Pancasila. Pasal-pasal yang merupakan penjelmaan dari sila ketiga Pancasila dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut:

Pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 1, pasal 24 ayat 1, pasal 25 A, pasal 27 ayat 3, pasal 18 B ayat 1 dan 2, pasal 22 E ayat 5, pasal 30 ayat 1, 2, dan 3, pasal 31 ayat 5,  pasal 32 ayat 2, pasal 35, pasal 36, pasal 36 A, pasal 36 B, pasal 37 ayat 5.

2. Pokok Pikiran Kedua

“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Hal ini merupakan pokok pikiran keadilan sosial yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian Pokok Pikiran Kedua merupakan penjelamaan Sila Kelima Pancasila. Pasal-pasal yang merupakan penjelmaan dari sila kelima Pancasila pada alinea kedua Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut:

Pasal 1 ayat 3, Pasal 18 A ayat 2, pasal 23 ayat 1, pasal 27 ayat 1 dan 2, pasal 31 ayat 1, 2, dan 5, pasal 32 ayat 1, pasal 33 ayat 3, pasal 34 ayat 1, 2, dan 3.

3. Pokok Pikiran Ketiga

“Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan”.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar haruslah berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan berdasar permusyawaratan/perwakilan. Pokok Pikiran Ketiga merupakan penjelmaan Sila Keempat Pancasila. Pasal-pasal yang merupakan penjelmaan dari sila keempat dari Pancasila yang dibarkan pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut:

Pasal 1 ayat 2, pasal 2 ayat 1, 2, dan 3, pasal 3 ayat 1, pasal 4 ayat 1, pasal 6 A ayat 1, pasal 6 A ayat 4, pasal 11 ayat 2, pasal 18 ayat 3 dan 4, pasal 19 ayat 1, pasal 20 ayat 1 dan 2, pasal 21, pasal 22 C ayat 1, pasal 22 E ayat 1, 2, dan 4, pasal 23 ayat 2, pasal 24 B ayat 3, pasal 31 ayat 1.

4. Pokok Pikiran Keempat

Alenia keempat merupakan pernyataan mengenai keadaan setelah negara Indonesia ada, dan mempunyai hubungan klausal dan organis dengan batang tubuh UUD 1945. Jadi dapat dikatakan Pembukaan UUD 1945 alenia keempat dijabarkan (dijelmakan) dalam batang tubuh UUD 1945.

Dapat dilihat dari:

  1. Bunyi Pembukaan UUD 1945 alenia 4 “… untuk membentuk Pemerintah Negara Indonesia” dijabarkan pada pasal 1 ayat 1 dan 3. Bunyi pasal 1 ayat 1 “ Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Bunyi pasal 1 ayat 3 “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Serta pasal 27 ayat 3 “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
  2. “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Dijabarkan dalam pasal 27 ayat 3 “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28 A-J  tentang HAM dan pasal 30 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.
  3. “… memajukan kesejahteraan umum.” Dijabarkan dalam pasal 33 dan 34 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pasal 27 ayat 2 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
  4. “… mencerdaskan kehidupan bangsa..” dijabarkan dalam pasal 31 dan 32 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
  5. “… ikut melaksanakan ketertiban dunia …..” dijabarkan dalam pasal 28 A-J tentang HAM dan pasal 30 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.
  6. “…  yang terbentuk dalam susunan negara…” dijabarkan dalam pasal 2 tentang MPR, pasal 4 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara (presiden), pasal 16 tentang Dewan Pertimbangan, pasal 17 tentang kementrian negara, pasal 18 tentang pemerintah daerah, pasal 19 tentang DPR, pasal 22 C tentang DPD, pasal 23 E tentang BPK, serta 24 Bab IX tentang kekuasaan kehakiman, pasal 24 A tentang MA, 24 B tentang KY, pasal 24 C tentang MK, Pasal 25 A tentang wilayah negara, serta pasal 26 tentang warga negara dan penduduk.
  7. “… Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat” dijabarkan dalam pasal 1 ayat 2 yang bunyinya “ Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.
  8. “… Ketuhanan Yang Maha Esa” dijabarkan dalam pasal 29 tentang Agama.
  9. “… Kemanusiaan yang adil dan beradab” dijabarkan dalam pasal 27 ayat 1 dan 2, pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman, pasal 28 tentang HAM, pasal 29 tentang Agama, pasal 31 tentang Pendidikan serta pasal 33 dan 34 tentang Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial.
  10. “… Persatuan Indonesia” dijabarkan dalam pasal 1 ayat 1 “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”, pasal 36 A “Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
  11. “…Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dijabarkan dalam pasal 2 tentang MPR, dan pasal 19 tentang DPR.
  12. “… keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dijiwai hampir dalam semua pasal (batang tubuh) UUD 1945.

TAP MPRS/MPR yang masih berlaku

 Kedudukan TAP MPR

TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara (staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. Kedudukan TAP MPR sebelum perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada setingkat dengan UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, “Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari”.

Dalam periode era reformasi, TAP MPR dianggap sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau meligitimasi kepentingan kekuasaan. Untuk itu kemudian muncul istilah “sunset clouse”, yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Ini juga yang mendasari proyek evaluasi yang disertai penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP MPR(S) ditahun 2003 melalui Sidang Umum (SU) MPR.

Selanjutnya lahir Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum

I. Mengidentifikasi ketetapan MPRS dan MPR yang masih atau tetap berlaku saat ini

Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang dinyatakan masuh berlaku, yaitu :

1.     Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Ketetapan ini dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ideologi dalam ajaran Komunisme, Marxisme/Leninisme bertentangan dengan ideologi Negara Republik Indonesia sehingga Ketetapan tersebut harus dipertahankan. Jika Ketetapan ini dicabut akan berakibat ajaran Komunisme, Marxisme/Leninisme, dan organisasi semacam PKI akan hidup kembali sehingga dapat menyebabkan munculnya kembali trauma sejarah pengkhianatan PKI terhadap Bangsa Indonesia.
  2. Pada hakekatnya Ketetapan ini memiliki semangat sebagai “aturan dasar bernegara” untuk menyelamatkan ideologi negara Pancasila dan mencegah kembali terjadinya tragedi politik dalam suasana traumatik, seperti yang terjadi di tahun 1965 saat terjadi G 30 S PKI. Dengan demikian, penetapan kembali keberlakuan Ketetapan ini adalah untuk menegaskan bahwa ideologi dan gerakan Komunisme, menyimpang dari cita-cita demokrasi Indonesia, sehingga gerakan politik untuk menegakkan paham komunisme, seperti pendirian Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan yang berasaskan/ berpahamkan Komunisme, Marxisme dan Leninisme harus tetap dilarang. Namun sesuai dengan substansi Ketetapan itu sendiri, kajian untuk kepentingan ilmiah dan akademis masih dapat dibenarkan.
  3. Berkenaan dengan hak-hak politik eks PKI dan/atau keturunannya, yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif pada masa sebelumnya. Hak tersebut sudah dikembalikan sesuai dengan semangat keadilan, hukum, demokrasi dan hak asasi manusia, sesuai dengan kedudukannya sebagai warga negara. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 011-017/PUU-I/2003 yang merupakan hasil Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 60 huruf g. Di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g dalam undang-undang dimaksud, yang berbunyi: “Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya” dibatalkan.

2.     Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

Ketetapan ini dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai dengan hakikat Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini menjadi acuan dasar yang mendorong terwujudnya demokrasi ekonomi agar lebih bertumpu pada penguatan ekonomi, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional. Pelaksanaannya, bagaimanapun, memerlukan kemauan politik yang lebih kuat dari seluruh penyelenggara negara dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat secara meluas, baik kuantitatif maupun kualitatif, sehingga menjadi basis sistem ekonomi nasional yang kokoh. Untuk itu masih diperlukan penyempurnaan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjamin komitmen pemerintah dalam memberdayakan ekonomi rakyat dan koperasi, termasuk keterkaitannya dengan jaringan dan kemitraan usaha besar dan BUMN, menuju terintegrasinya pelaku-pelaku ekonomi ke dalam sistem ekonomi nasional.
  2. Praktek demokrasi ekonomi dalam sistem ekonomi nasional tengah beradaptasi dengan kecenderungan ekonomi global.
  3. Ketetapan MPR ini diharapkan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan ekonomi nasional oleh para penyelenggara Negara.

3.     Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.

Ketetapan ini tetap berlaku sampai terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini menetapkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengakui hasil pelaksanaan penentuan pendapat yang diselenggarakan di Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999 oleh PBB sesuai dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan Republik Portugal mengenai masalah Timor Timur dengan hasil mayoritas warga Timor Timur yang memiliki hak pilih menolak tawaran otonomi khusus di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Dengan penolakan tersebut berarti adanya perubahan sikap sebagian besar rakyat Timor Timur terhadap Deklarasi Balibo tanggal 30 November 1975 yang menyatakan bahwa rakyat Timor Timur menyatakan kehendaknya untuk menyatukan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Pencabutan Ketetapan Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak menghapuskan keabsahan tindakan maupun segala bentuk penghargaan yang diberikan negara kepada para pejuang dan aparatur pemerintah selama kurun waktu bersatunya wilayah Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut hukum nasional Indonesia.
  4. Secara umum, pemisahan Timor-Timur (Timor Leste) akibat hasil jajak pendapat yang dilakukan sudah terlaksana. Namun masih menyisakan beberapa persoalan yang sedang dan akan diselesaikan pemerintah Indonesia seperti masalah kewarganegaraan, pengungsian dan masalah penyelesaian aset-aset negara dan hak perdata perseorangan.
  5. Sampai diselesaikannya beberapa persoalan yang ada maka TAP ini masih tetap berlaku, untuk menghindari kekosongan hukum dalam penyelesaian beberapa masalah akibat terpisahnya Timor Timur dari Indonesia

4.     Ketetapan MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan secara langsung bahwa Ketetapan ini tetap berlaku dengan menghargai Pahlawan Ampera yang telah ditetapkan dan sampai terbentuknya undang-undang tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini menetapkan bahwa setiap korban perjuangan menegakkan dan melaksanakann Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) dalam melanjutkan pelaksanaan revolusi 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila adalah Pahlawan Ampera.
  2. Menugaskan kepada pemerintah untuk meneliti dan melaksanakan perintah Ketetapan ini.
  3. Bahwa setiap orang yang menjadi korban perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam membela kepentingan warga negara, masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan sebagai pembela Amanat Penderitaan Rakyat dan berhak mendapatkan tanda jasa kepahlawanan, tanda jasa dan gelar kehormatan lainnya.
  4. Saat ini sudah dibentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

5.     Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan secara langsung bahwa Ketetapan ini tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini mengamanatkan agar para penyelenggara negara mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan berdaya guna dan berhasil guna dan menghindarkan terjadinya praktek-praktek KKN dalam penyelenggaraan negara.
  2. Upaya pemberantasan KKN harus dilaksanakan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat maupun mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, swasta dan konglomerat dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM.
  3. Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif baik di pusat maupun di daerah belum sungguh-sungguh melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Karena dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut penyelenggara negara belum sepenuhnya jujur, adil, terbuka dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
  4. Berkaitan dengan pemberantasan KKN yang harus dilakukan secara tegas kepada siapapun (pasal 4), tidak sepenuhnya memuaskan meskipun sebagian telah dilaksanakan proses hukumnya.
  5. Politik hukum pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, baik yang berkenaan dengan materi perundang-undangan, lembaga-lembaga dan Aparat penegak hukum serta budaya hukum, dirasakan belum sepenuhnya mencerminkan pelaksanaan secara sungguh-sungguh menegakkan peraturan perundang-undangan yang mengacu kepada Ketetapan ini.

6.     Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan secara langsung bahwa ketetapan ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini mengamanatkan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
  2. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keragaman daerah.
  3. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan:

1)    potensi daerah;

2)    luas daerah;

3)    jumlah penduduk;

4)    keadaan geografi;

5)    tingkat pendapatan masyarakat di daerah.

  1. Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan memelihara kelestarian lingkungan.
  2. Telah dibentuk peraturan perundang-undangan yang merupakan tindak lanjut dari ketetapan ini, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan beberapa peraturan pelaksanaannya. Meskipun demikian, bagi sebagian masyarakat undang-undang itu dinilai belum maksimal
  3. Pelaksanaan otonomi daerah telah menumbuhkan adanya daerah otonom yang peraturannya berlaku secara umum dan daerah khusus dan istimewa yang peraturannya berlaku secara khusus seperti, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Otonomi Khusus NAD dan Otonomi Khusus Papua, yang menimbulkan dampak beragamnya kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom dan daerah Otonomi Khusus.

7.     Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan perlu diwujudkan persatuan dan kesatuan nasional antara lain melalui pemerintahan yang mampu mengelola kehidupan secara baik dan adil, serta mampu mengatasi berbagai permasalahan sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan dalam Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini mengamanatkan pentingnya pemantapan persatuan dan kesatuan nasional, karena dalam sejarah perjalanan negara Indonesia telah terjadi pemberontakan dan pergolakan sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan yang sentralistis, tidak terselesaikannya perbedaan pendapat, ketidaksiapan dalam menghormati perbedaan pendapat dan menerima kemajemukan diantara pemimpin bangsa dan masyarakat. Hal tersebut antara lain melahirkan konflik vertikal antara pusat dan daerah, dan konflik horisontal antar berbagai unsur masyarakat, pertentangan ideologi dan agama, kemiskinan struktural, kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan lain-lain.
  2. Dari keadaan tersebut di atas, diperlukan kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional melalui rekonsiliasi nasional serta perlu diinternalisasikan pemahaman dan penghayatan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dengan menumbuhkan semangat patriotisme dan nasionalisme.
  3. Dalam kenyataannya pemahaman dan penghayatan masyarakat tentang persatuan dan kesatuan masih jauh dari harapan karena masih munculnya berbagai konflik yang meliputi: agama, suku, ras, sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
  4. Belum terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang mampu mengelola kehidupan berbangsa secara baik dan adil, sistem politik yang demokratis, sistem dan pelaksanaan hukum yang berorientasi kepada keadilan dan kebenaran, dan terwujudnya kehidupan demokrasi yang menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik serta Hak Asasi Manusia.
  5. Telah dibentuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang merupakan amanat Ketetapan ini, namun oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan perkara Nomor 006/PUU-IV/2006, undang-undang tersebut telah dibatalkan.
  6. Salah satu kaidah pelaksanaan dari Ketetapan ini ialah dijadikan sebagai pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan yang akan mengatur penyelenggaraan negara serta perilaku masyarakat dalam berbangsa dan benegara

8.     Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan secara langsung pembentukan undang-undang yang terkait dengan pemisahan kelembagaan TNI dan Polri.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini mengamanatkan pemisahan kelembagaan TNI dan POLRI, menentukan peran TNI dan POLRI serta perlu adanya kerjasama dan saling membantu antara TNI dan POLRI dalam melaksanakan tugasnya dibidang pertahanan negara dan keamanan.
  2. Amanat dari ketetapan ini, yaitu pemisahan kelembagaan TNI dan POLRI, telah terwadahi di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, namun amanat yang berkaitan dengan kerjasama dan saling membantu antara TNI dan Polri belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena belum ada peraturan perundang-undangannya.

9.     Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan secara langsung bahwa Ketetapan ini tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang yang terkait dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (2) dari Ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini mengamanatkan tentang:

1)    jati diri, peran, susunan dan kedudukan, tugas bantuan, dan keikutsertaan TNI di dalam penyelenggaraan negara;

2)    Peran, susunan dan kedudukan, lembaga kepolisian, tugas bantuan, serta keikutsertaan Polri dalam penyelenggaraan negara;

3)    TNI merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4)    Tugas dan peran Polri ialah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

  1. Memerintahkan pembentukan undang-undang yang terkait antara lain tentang penyelenggaraan wajib militer, peradilan militer serta yang berkaitan dengan tugas bantuan antara TNI dan Polri.
  2. Penataan peran TNI telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
  3. Adapun tentang penataan peran Polri diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  4. Namun dipandang masih perlu adanya peraturan perundang-undangan yang lebih menata peran TNI dan Polri antara lain yang berkaitan dengan tugas kerjasama dan bantuan, penyelenggaraan wajib militer serta lembaga kepolisian nasional.

10.            Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan perlu ditegakkan Etika Kehidupan Berbangsa yang meliputi etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan dan berkesetaraan, etika keilmuan, dan etika lingkungan untuk dijadikan acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaannya, serta menjiwai seluruh pembentukan undang-undang sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini mengamanatkan untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa, dan berahklak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengacu pada cita-cita persatuan dan kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan, serta kelestarian lingkungan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
  2. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, toleransi, budaya malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
  3. Etika kehidupan berbangsa meliputi: etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan dan berkesetaraan, etika keilmuan, dan etika lingkungan.
  4. Pada kenyataanya pemahaman dan penghayatan tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara masih jauh dari harapan karena etika kehidupan berbangsa dan bernegara masih sekedar norma-norma prilaku yang pelanggarannya belum dikenakan sanksi moral maupun sanksi hukum yang jelas dan terukur dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara serta tidak dapt dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
  5. Ketetapan ini berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, budaya dan hukum.

11.            Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 mengamanatkan perlu diwujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaannya.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Visi Indonesia masa depan diperlukan untuk memberikan fokus pada arah kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang lebih baik.
  2. Dalam menjaga kesinambungan arah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan visi antara yaitu visi Indonesia 2020 yang merupakan visi di antara cita-cita luhur bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (visi ideal) dan visi lima tahunan.
  3. Cita-cita luhur bangsa Indonesia telah digariskan oleh para pendiri negara seperti dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan cita-cita luhur tersebut merupakan cita-cita sepanjang masa yang harus diupayakan pencapaiannya.
  4. Visi Indonesia 2020 tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memperhatikan tantangan yang dihadapi saat ini dan dimasa yang akan datang serta memperhitungkan pelaksanaannya sampai tahun 2020.
  5. Tantangan Indonesia menjelang Tahun 2020 adalah:

1)    Pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan negara;

2)    Sistem hukum yang adil;

3)    sistem politik yang demokratis;

4)    Sistem ekonomi yang adil dan produktif;

5)    Sistem sosial budaya yang beradab;

6)    Sumber daya manusia yang bermutu;

7)    Globalisasi.

  1. Telah disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (lima tahunan) dan Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, adalah sebagai upaya untuk melaksanakan amanat TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 secara bertahap.
  2. Ketetapan ini tetap sejalan dengan Peraturan perundang-undangan yang telah terbentuk bahkan menjadi pedoman untuk mewujudkan cita-cita luhur budaya bangsa dan sebagai pegangan untuk merumuskan arah kebijakan bagi penyelenggara negara.

12.            Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan secara langsung bahwa ketetapan ini tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan ini bertujuan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektivitas pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta berbagai peraturan perundang-undangan terkait.
  2. Arah kebijakan pemberantasan KKN adalah:

1)    Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama penegak hukum dan penyelenggaran negara yang diduga terlibat KKN;

2)    Melakukan penindakan hukum yang lebih sungguh-sungguh terhadap semua kasus KKN;

3)    Mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut mengawasi dan melaporkan dugaan KKN yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara, dan masyarakat;

4)    Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN;

5)    Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang ada sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya;

6)    Membentuk undang-undang serta peraturan pelaksanaanya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan KKN yang muatannya meliputi:

a)     Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

b)    Perlindungan saksi dan korban;

c)     Kejahatan Terorganisasi;

d)    Kebebasan Mendapatkan Informasi;

e)     Etika Pemerintahan;

f)      Kejahatan Pencucian Uang;

g)     Ombudsman.

7)    Perlu segera dibentuk Undang-Undang guna mencegah terjadinya tindakan-tindakan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.

8)    Berkenaan dengan pelaksanaan Ketetapan ini, sudah dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjaadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

13.            Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengamanatkan secara langsung bahwa ketetapan ini tetap berlaku sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.

Substansi dan Perkembangan Ketetapan:

  1. Ketetapan MPR ini mengamanatkan untuk mendorong pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghormati Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, kesejahteraan rakyat, demokrasi, kepatuhan hukum, partisipasi rakyat, keadilan termasuk kesetaraan gender, pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam, memelihara keberlanjutan untuk generasi kini dan generasi yang akan datang, memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan, keterpaduan dan koordinasi antar sektor dan antar daerah, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat, desentralisasi, keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah, masyarakat dan individu.
  2. Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
  3. Pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
  4. Untuk mewujudkan amanat Ketetapan ini, agar melakukan pengkajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijaksanaan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan.
  5. Menindaklanjuti Ketetapan ini, sebagaimana ditugaskan dalam Pasal 6 dan Pasal 7, telah terbentuk peraturan perundang-undangan:

Di bidang Sumber Daya Agraria.

  1. Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pertimbangannya adalah perlunya mewujudkan konsepsi kebijakan pertanahan nasional yang utuh dan terpadu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keputusan Presiden ini juga menugaskan Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan langkah-langkah percepatan untuk: Penyempurnaan Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya, Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan.
  2. Disamping itu, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 juga menyatakan bahwa 9 (sembilan) kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilakukan pemerintah oleh Kabupaten/Kota.
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah telah meletakan kewenangan Pemerintahan di bidang pertanahan di daerah.
  4. Berbagai permasalahan agraria yang muncul dalam berbagai konflik di tengah masyarakat saat ini pada hakekatnya bersumber dari pola pengaturan dan pengelolaan sumber daya agraria terutama tanah yang meliputi struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, pemanfaatan sekaligus pengendalian.
  5. Semakin banyaknya peraturan perundang-undangan sektoral yang tumpang tindih bahkan bertentangan satu sama lain, ditambah lagi dengan inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaanya.
  6. Terdapat kelemahan koordinasi antar instansi, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan koordinasi di tingkat daerah yang mengakibatkan kurangnya kepastian hukum bagi rakyat dan semakin sulitnya menjangkau keadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria.

Di bidang Sumber Daya Alam.

  1. Telah terbentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
  2. Telah terbentuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pemanfaatan Sumber Daya Air, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Izin Bagi Perusahaan Tambang Melakukan Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan Lindung.